Toleransi Antar Umat Beragama Terancam
Oleh : Syamsul Falah (PKC PMII Jateng)
Kehidupan umat beragama di Indonesia belakangan mulai terusik dengan pelbagai kasus yang meresahkan masyarakat dengan membawa nama agama. Terlebih, patologi sosial atas nama agama tersebut kerap mengaitkan dengan agama tertentu, Islam misalnya.
Dikatakan demikian, karena pada prinsipnya tak ada agama satu pun, baik itu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Budha yang mengajarkan pengikutnya untuk menyakiti orang lain, apalagi membunuh manusia. Tapi, agama hadir di dunia dengan membawa misi suci yakni cinta damai terhadap sesama. (Azyumardi Azra, 2011).
Akan tetapi, misi suci agama itu acap berbeda dengan kenyataan. Kasus kekerasan yang menimpa di beberapa daerah menunjukkan betapa makna substansi agama telah mengalami pergeseran yang sangat signifikan. Atas dalih membela agama sekelompok orang menghabisi anggota Ahmadiyah dengan cara yang tak manusiawi. Terlihat dalam sebuah video rekaman Youtube, bagaimana pembantaian terhadap dua orang yang sudah tak berdaya tapi tetap saja sekujur tubuhnya dihujani pukulan kayu dan lemparan batu oleh orang-orang yang mengklaim diri sebagai pembela agama.
Dalam konteks inilah, agama telah dijadikan kambing hitam atas berbagai modus kekerasan yang terjadi terhadap kelompok yang tertindas. Dalam artian, oleh kelompok radikal agama, baik doktrin, dogma, tafsir dan dalil-dalil agama (baca: Islam) telah mengalami distorsi dan bahkan politisasi ajaran agama sehingga mengarah pada tindakan destruktif, ahumanis, dan tak toleran dengan perbedaan yang lain.
Di sinilah berbahayanya apabila keyakinan terhadap agama tertentu dipraktikkan pemeluknya dalam wajah dan wujud yang bersifat eksklusif atau tertutup. Di era reformasi seperti sekarang ini, praktik beragama dengan model semacam ini tampak marak, apalagi dalam agama Islam.
Didalam agama Islam terdapat kelompok agama formal yang lebih mengedepankan aspek lahiriah semata. Kelompok ini dalam praktik keagamaan kerap menekankan pada bentuk formal agama saja, kesalehan religius-sosial hanya diukur dengan simbol-simbol agama, seperti shalat, berpakaian congklang bagi laki-laki dan mengenakan cadar bagi perempuan seperti zaman nabi.
Sementara, aspek substansi dari perilaku beragama Islam, misalnya, toleransi dengan umat agama lain yang berbeda serta tidak mengedepankan kekerasan terhadap manusia lain apabila terjadi silang pendapat atas paham keagamaan yang diyakini oleh kelompok Islam radikal cenderung diabaikan.
Pengabaian pada nilai-nilai universal agama timbul akibat konstruksi keyakinan, pemikiran dan tindakan yang sempit oleh pengikut Islam garis keras. Ajaran agama Islam yang maha mulia ditafsirkan dengan kehendak sendiri, tanpa membuka ruang dialog-kritis dengan yang lain.
Pada titik ini, keyakinan antara minna, yaitu yang kita yakini benar dan minhum, yakni diyakini orang lain benar berada pada titik persinggungan tajam sehingga berujung pada wujud yang saling bermusuhan. Contoh riil: kasus yang terjadi hari2 ini, Padahal, apa pun alasan dan motifnya, kekerasan atas nama agama tetap tidak dapat dibenarkan.
Dalam pada itu, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) seharusnya mampu berupaya mengurai dan mencarikan solusi atas pelbagai problematika keagaamaan Islam yang belakangan marak terjadi di tengah kehidupan masyarakat. Tujuannya, agar distorsi, reduksi maupun politisasi yang membawa jargon agama Islam tak lagi terulang. Dan semoga tak ada lagi kekerasan lagi atas nama agama
Comments
Post a Comment