Pembaca Media Dakwah yang dirahmati Allah SWT… Kalau di organisasi atau Instansi lain, posisi pucuk pimpinan seolah jadi barang rebutan, tapi tak begitu terhadap amanah yang merupakan Rais ‘Aam di dalam Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU).
Peristiwa mencatat, paling sering proses perubahaan Rais ‘Aam diwarnai bersama penolakan atau sikap tak bersedia dari kandidat yg terpilih buat mengemban amanah ini, seperti yg dilakukan KH Mustofa Bisri terhadap Muktamar Ke-33 NU di Jombang.
Factor mirip sempat berlangsung kepada gelaran Muktamar NU 48 th silam, tepatnya kepada Muktamar Ke-24 di Bandung, Juli 1967. Menariknya, entah cuma kebetulan semata, kepada nama tokoh tersebut pun melekat nama Bisri.
Yaitu KH Bisri Syansuri, yg dikala itu dalam pemilihan Rais ‘Aam PBNU sukses memperoleh nada terbanyak mengungguli KH Abdul Wahab Chasbullah.
Para muktamirin merasa kasihan bersama keadaan fisik Kiai Wahab yg telah teramat lemah & uzur lanjut usia buat kembali memimpin NU.
Tetapi, sebelum forum memutuskan utk mengangkat Kiai Bisri juga sebagai Rais ‘Aam menukar Kiai Wahab, jabatan tersebut dgn tegas ditolaknya. Tatkala Kiai Wahab masihlah hidup, dia tak akan jadi Rais ‘Aam. Kiai Bisri baru bersedia menukar jabatan tersebut, disaat Kiai Wahab meninggal terhadap thn 1971.
Histori serta mencatat, terkecuali penolakan ke-2 Bisri ini, sikap mirip juga sempat diperlihatkan sekian banyak kiai ketika disodori posisi Rais ‘Aam yg kosong diwaktu Kiai Bisri meninggal. Termasuk Juga dua ulama kharismatik, KH R As'ad Syamsul Arifin Situbondo & KH Machrus Ali Lirboyo pun ikut menolak.
”Meski Malaikat Jibril turun dari langit buat memaksa, aku terus dapat menolak, yg patut itu Kiai Machrus Ali, Lirboyo,” tukas Kiai As’ad.
Jawaban Kiai Machrus juga tidak kalah ‘angker’, ”Jangankan Malaikat Jibril, kalaupun Malaikat Izrail turun & memaksa aku, aku konsisten tak bersedia!”
Comments
Post a Comment